Unik dan Menawan, Pakaian Adat Yogyakarta yang Perlu Kamu Tahu
Sobat PKG YIA pasti tahu kalau masyarakat Yogyakarta dikenal sangat memegang teguh adat istiadatnya, termasuk dalam melesterarikan pakaian adat Yogyakarta. Selain untuk upacara adat dan pernikahan, pakaian adat Yogyakarta juga dikenakan oleh mereka yang berada di destinasi wisata seperti keraton, maupun pagelaran acara budaya. Pakaian adat Yogyakarta memiliki tampilan yang unik sehingga mudah dikenali dan dibedakan dengan busana adat dari daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Kebaya Yogyakarta
sumber:ungaran.id
Kebaya merupakan busana tradisional Jawa yang digemari perempuan Indonesia karena tampilannya yang anggun. Sebenarnya, bukan hanya Yogyakarta saja yang memiliki kebaya, melainkan daerah-daerah lain di Indonesia seperti Solo, Jawa Barat, Bali dan lainnya.
Dulunya, kebaya Yogyakarta umumnya dipakai oleh perempuan priyayi dan bangsawan. Kalau sekarang, siapapun bisa mengenakannya. Sebagai pelengkap, kebaya ditambah perhiasan, sanggul, dan alas kaki.
Surjan
sumber:pariwisataindonesia.id
Surjan merupakan pakaian adat Yogyakarta yang biasanya dikenakan kaum pria. Esensinya surjan adalah lurik atau model kemeja berlengan panjang. Kainnya memiliki tekstur tebal dengan motif vertikal, berwana gelap dan dilengkapi dengan kancing. Namun, dalam perkembanganya motif lurik ternyata tidak hanya garis-garis membujur saja, tetapi terdapat motif kotak-kotak sebagai hasil kombinasi garis vertikal dengan horisontal.
Selanjutnya muncul surjan ontrokusuma yang bermotif bunga. Jenis dan motif kain yang digunakan untuk membuat surjan ontrokusuma terbuat dari kain sutra bermotif hiasan berbagai macam bunga. Biasanya surjan jenis ini dipakai pejabat dan kalangan bangsawan keraton. Ketika dikenakan, surjan dipadukan dengan jarik dan blangkon.
Pinjung
sumber:seringjalan.com
Pinjung adalah pakaian adat Yogyakarta yang umum dikenakan oleh Abdi Dalem keraton Kasultanan Yogyakarta. Pinjung adalah kain yang digunakan sebagai penutup sampai ke dada. Biasanya kain pinjungan dilengkapi dengan kemben atau kain penutup dada.
Selain itu, bisa juga dipadukan dengan baju batik atau lurik sebagai penutup terluar. Di masa sekarang, pinjung sudah dikenakan oleh hampir semua kalangan perempuan Yogyakarta, dilengkapi dengan selendang, perhiasan dan alas kaki.
Busana Pranakan
sumber:guebanget.com
Busana pranakan adalah pakaian dinas harian yang dikenakan para Abdi Dalem jaler atau pria. Mengutip Kraton Jogja, busana ini konon terinspirasi dari baju kurung yang dikenakan para santri putri di Banten ketika Sultan berkunjung ke sana pada abad ke-19.
Bahan yang digunakan untuk membuat baju pranakan berupa kain lurik berwarna biru tua dan hitam, dengan kombinasi corak garis berjumlah 3-4 atau disebut telupat (telu-papat).
Pranakan memiliki potongan bagian depan yang berhenti di ulu hati, serta belahan di bagian lengan yang mempermudah saat akan wudhu. Terdapat 6 kancing di leher depan yang dikaitkan dengan keenam rukun iman dan 5 kancing di setiap ujung lengan yang dikaitkankan dengan kelima rukun Islam.
Janggan Hitam
sumber:idntimesjogja.com
Kalau busana pranakan dikenakan oleh Abdi Dalem jaler (pria), janggan hitam dipakai oleh Abdi Dalem estri (perempuan) dalam menjalankan tugas di Kraton Yogyakarta. Janggan merupakan baju dengan model menyerupai surjan yang dilengkapi kancing hingga menutup leher. Warna kain yang digunakan harus hitam.
Janggan sendiri berasal dari kata ‘jangga’ berarti leher, yang melukiskan keindahan dan kesucian kaum perempuan keraton, dan perempuan Jawa pada umumnya. Sementara warna hitam janggan menggambarkan simbol ketegasan, kesederhanaan, dan kedalaman, juga sifat kewanitaan yang suci dan bertakwa.
Selengkapnya baca sibakuljogja